An Improvisiation on The Canon

Friday, February 27, 2009

Pendidikan Indonesia "Ketinggalan

Sudah berpuluh tahun pendidikan ada di Indonesia. Namun, bagaimana perkembangannya? Apakah hanya segitu-segitu aja? Atau tambah baik? Atau mungkin tambah buruk. Tambah baik dan tambah buruk itu penilainnya relatif. Kita gak bisa bilang kalo kuantitasnya meningkat, berarti tambah baik. Demikian juga dengan kualitas. Bila kita bandinginnyta gitu, maka jelas saja kalau pendidikan Indonesia tambah baik terus. Yang perlu dilihat untuk menilainya, adalah membandingkannya dengan negara-negara lain. Jika kita membandingkan sama yang dulu terus, gimana caranya au tambah baik. Pendidikan negara lain juga tambah baik kok. Berarti kita sama aja, berdiam dalam keadaan standar.

Beberapa tahun lalu, pemerintah mulai menetapkan “Sekolah Standar Nasional” dan “Sekolah Bertaraf Internasional”, dimana sekolah bertaraf internasional lebih tinggi dari sekolah standar nasional. Hal ini membuktikan kalau pendidikan luar negeri lebih baik dari pendidikan Indonesia. Hal ini juga yang dijadikan sebagai bentuk pengakuan pemerintah yang telah gagal menyaingi sistem pendidikan luar negeri. Tapi, di sisi lain, kita melihat kalau ini juga merupakan usaha pemerintah mengejar ketinggalan yang ada. Dengan adanya peringkat-peringkat ini, pemerintah mungkin berharapn kalau “SUATU SAAT NANTI”, seluruh sekolah di Indonesia akan menjadi sekolah bertaraf internasional.

Sejak bertahun-tahun lalu, lembaga pendidikan atau sekolah di luar negeri gencar memberikan beasiswa bagi siswa/i yang cerdas dan berbakat, baik dari swasta, maupun pemerintah. Salah satu negara, tempat diajukannya beasiswa itu adalah Indonesia. Setiap tahunnya, banyak anak Indonesia cerdas dan berbakat yang “disedot” oleh pemerintah luar negeri. Mereka rata-rata meninggalkan Indonesia, saat memasuki SMA ataupun kuliah. Mereka memilih untuk melanjutkan pendidikannya di sana. Bahkan, sekalipun tidak dapat beasiswa, mereka berusaha untuk menjadi tamatan luar dengan biaya sendiri.

Inilah kejadian yang masih terjadi sampai saat ini. Banyak orang yang terus berusaha meninggalkan Indonesia. Apakah Indonesia hanya dianggap sebagai tempat pendidikan dasar saja? Lalu, setelah selesai pendidikan dasar, semuanya “rame-rame” meninggalkan Indonesia. Seperti halnya anak yang tamat SMP, akan menuju SMA dan meninggalkan seragam putih birunya. Inikah Indonesia? Apakah yang menyebabkan semua itu terjadi? Ada dua kemungkinan, yang pertama sistem pendidikan Indonesia jelek. Yang kedua, sistem pendidikan Indonesia sudah baik, namun yang di luar jauh lebih baik. Intinya, sistem pendidikan Indonesia belum bisa menyaingi sistem pendidikan luar. Yang dilihat bukan hanya dari pendidikannya saja, tapi juga dari hal-hal lain, yang menyangkut moral dan nama baik pendidikan.

Pertama, di Indonesia, kita masih terus menghafal, dimana bahan yang dihafal itu-itu saja. Pelajaran yang sudah dihafal di tingkat dasar, masih diulang di tingkat lanjutan, sehingga pelajarannya gak maju-maju. Buku yang dipakai oleh sekolah standar nasionald an internasional sama saja, hanya bedanya, yang satu 1 bahasa, dan yang lain bilingual, itupun hanya untuk beberapa mata pelajaran.


Kedua, tanggung jawab guru di Indonesia belum bisa diselamatkan dari rapor merahnya. Kita melihat adanya kekerasan di sekolah, pelecehan seksual, dan hal-hal lain yang mencoreng nama baik sekolah, yang pastinya berdampak bagi nama baik pendidikan secara nasional. Kontol guru sebagai pengawas pembelajaran anak, hanya dari bel masuk dibunyikan hingga bel ulang dibunyikan. Jika anak tidak mengerti, maka guru pun kadang cuek, yang penting “gw udah terangin, gak ngerti? Cari les sendiri, ato kalo mau boleh kok les sama gw.” Semestinya bukan itu yang terjadi. Tapi, guru memberikan tambahan pelajaran sepulang sekolah, bagi siswa/i yang belum mengerti, yaitu kelas terbuka bagi seluruh murid.

Ketiga, di sekolah, kita pasti ada ujian, baik lisan maupun tulisan. Bagaimana peran guru dalam persiapan menuju ujian di sekolah? Apakah hanya memberikan soal yang mirip dengan soal ujian, lalu mengeluarkan soal yang sama waktu ujian dengan hanya mengubah sedikit saja? Semestinya tidak! Meskipun, pada kenyataannya hal itu masih terjadi. Bagaimana masa depan si anak saat menghadapai UN? Apakah ada yang akan memberitahu mereka soal-soal yang mirip dengan soal UN yang akan keluar? Apakah ada yang tahu apa yang akan keluar? Lalu, apa peran guru dalam pengawasan saat ujian? Membiarkan anak mencontek? Membiarkan adanya kerja sama antarmurid? Atau mungkin langsung memberikan contekan itu pada murid? Meskipun tidak semua guru, tapi ada yang seperti itu. Jika ada murid yang gagal dalam ujian, akan dicap bodoh dan diberi remedial, lalu selesai. Remedial di sekolahan kita, masih dianggap sebegai bentuk kegagalan siswa (dan guru itu) --- Sengaja dikurung, soalnya jarang hal yang satu itu ditekankan. Padahal, remedial semestinya dianggap sebagai suatu usaha perbaikan bagi si murid! Itulah yang semestinya ditanamakan pada murid, KALAU KAMU PUNYA KESEMPATAN UNTUK MEMPERBAIKI DIRI! bukannya KAMU GAGAL! DASAR *****! (apaan tuh yang disensor, hehehehe)

Ok, kurang lebih itulah yang membuat pendidikan di Indonesia semakin ketinggalan. Kita masih berputar di lingkaran yang sama.

No comments:

Post a Comment